PEMBELAAN BERBUAH LOYALITAS

10 September 2008 at 9:45 am (Catatan Kembara Tani, Desa Hutan Kita) (, , , , , , , , , , , , , , , , )


Ngadirin, KSS PHBM KPH Kebonharjo, punya tips yang unik dalam ngurus LMDH yang kebanyakan berkategori ‘kurus’ di wilayah kerjanya.  Tidak tanggung-tanggung, Ngadirin ‘memaksa’ stakeholder, termasuk jajaran aparatur pemerintah daerah setempat untuk mau turun langsung dan terlibat dalam PHBM.  Kalau perlu, sampai melabrak komisi B DPRD karena aspirasi LMDHnya tidak ditanggapi.

“Jika ada kegiatan LMDH, saya selalu melibatkan pihak Pemkab, setidaknya Asda I atau II.  Sehingga, otomatis camat, kades dan instansi-instansi terkaitnya juga pada datang, meski terpaksa” ujarnya diiringi tawa.

Menurut Ngadirin, harus ada yang proaktif dan jemput bola untuk menciptakan sinergitas di lapangan.  “Tidak mungkin kita hanya menunggu dan berharap stakeholder mau ikut terlibat.  Kebanyakan dari mereka belum paham apa dan bagaimana sistem PHBM ini.  Disangkanya PHBM ini program Perhutani, urusan Perhutani ya biarin saja Perhutani yang repot sendiri” ujarnya menirukan salah satu stakeholder.  Padahal, lanjutnya, membangun masyarakat desa hutan yang maju, mandiri dan sejahtera itu tugas bersama. Baca entri selengkapnya »

Permalink 3 Komentar

Pagar Kesejahteraan di Batas Hutan (5)

22 Agustus 2008 at 3:49 pm (Catatan Kembara Tani) (, , , , , , , , , , , , , , , , , , )


“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

(QS. Ar-Rum  : 41)

1.5. INTERVENSI KEKUASAAN DAN HILANGNYA NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL.

Mubyarto, dalam Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan (1983), menyebutkan bahwa sebelum dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing 1967, produksi kehutanan sangat kecil.  Ekspornya pada 1964 kurang dari 100.000 m3 dengan nilai rata-rata US $ 3-4 juta.  Dibanding dengan hasil hutan ikutan, seperti Getah, Damar, Tengkawang, Kulit binatang dan lain-lain yang mencapai antara US $ 6-9 juta, maka ekspor hasil hutan tidak berarti dari segi penerimaan devisa negara.

Keadaan berubah sangat cepat setelah modal asing diundang masuk dan bersamaan dengan dikeluarkannya UU No. 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan.  Inhutani yang sebelumnya memegang monopoli pengusahaan hutan, sesudah 1967 menjadi hanya salah satu pemegang HPH yang kurang berarti.  Pengusaha-pengusaha asing dari Jepang, Filipina dan Malaysia, berdatangan terutama dengan makin menciutnya kemungkinan mengusahakan hutan di kedua negara ASEAN itu.  Produksi tahunan antara tahun 1970 – 1978 adalah pada tingat lebih dari 20 juta m3 dimana lebih dari 75 % nya diekspor.

Dalam nilai devisa, sumbangan ekspor hasil hutan ini sungguh meningkat luar biasa.  Dari jumlah yang tidak berarti menjadi nomor 2 setelah minyak bumi, yaitu hampir sebesar US $ 1 Milyar pada tahun 1977.  Pada saat itu, sudah mulai terdengar suara-suara bahwa kalau pun minyak bumi kita habis, hutang-hutang luar negeri akan lunas dibayar dengan hasil-hasil hutan yang merupakan sumber alam yang dapat diperbaharui (renewable).  Padahal, luasnya mencapai 120 juta hektar dan baru kurang dari 25 % yang diusahakan.

Demikianlah telah terjadi revolusi dalam sejarah kehutanan Indonesia.  Bagi Indonesia yang pada tahun 1966 – 1967 sangat memerlukan devisa untuk mengimpor pangan, sandang dan kemudian bahan-bahan lain dalam rangka pembangunan, sumbangan yang diberikan oleh sumber daya hutan sungguh luar biasa.

Namun seperti yang juga ditemukan pada hampir segala bidang, setiap hasil pasti ada biayanya, lebih-lebih apabila hasil itu diperoleh dalam waktu yang singkat.  Revolusi kehutanan seperti juga revolusi hijau dalam bidang pangan, tidak sedikit meminta korban yang dari segi politik pertanian (baca: kehutanan) besar implikasinya.  Hilangnya nilai-nilai kearifan sosial, ekonomi dan ekologis yang dimiliki MDH adalah salah satu dari implikasi ‘revolusi’ kehutanan tersebut. Baca entri selengkapnya »

Permalink 2 Komentar

Pagar Kesejahteraan di Batas Hutan (4)

22 Agustus 2008 at 3:47 pm (Catatan Kembara Tani) (, , , , , , , , , , , , , , , , , , )


Dia lah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian rejeki-Nya.  Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS. Al-Mulk : 15).

1.4  NILAI-NILAI KEARIFAN SOSIAL- EKONOMI

Interaksi antara Masyarakat Desa Hutan (MDH) dengan hutan yang ada disekelilingnya, telah berjalan cukup lama.  Bahkan, interaksi tersebut telah terjadi jauh sebelum bangsa dan negara ini lahir.  MDH telah menjadikan hutan sebagai bagian dari kehidupan sosial ekonominya.  Dalam interaksinya tersebut, MDH memiliki nilai-nilai kearifan sosial ekonomi dalam memandang hutan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Nilai-nilai kearifan sosial MDH dalam memandang hutan didasari atas tanggung jawab sosial untuk memelihara sumberdaya hutan yang digunakan atau dimanfaatkan bersama.  Sementara nilai-nilai kearifan ekonomi MDH dalam memandang hutan didasari atas tanggung jawab bersama untuk menjaga manfaat ekonomi sumberdaya hutan bagi kelangsungan pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Moh. Kasran, Ketua LMDH Wana Lestari, Desa Jegong Kec. Jati Kab. Blora yang termasuk dalam kawasan KPH Randublatung, mengungkapkan bahwa jauh sebelum implementasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di desanya, masyarakat Desa Jegong sudah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kondisi kelestarian hutan.  Menurutnya, masyarakat Desa Jegong memperoleh manfaat ekonomi secara langsung melalui pengambilan kayu bakar, empon-empon, walur, gemili dan daun jati.

Khususnya pada musim paceklik, menurut Kasran, hutan merupakan sumber pendapatan satu-satunya yang sangat membantu sebagian besar masyarakat Desa Jegong dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya.  Oleh karena itu, lanjut tokoh agama yang berpembawaan tenang ini, masyarakat Desa Jegong sangat menjaga kelestarian hutannya.  “Karena, kalau hutannya rusak, pohonnya banyak berkurang, kami kehilangan salah satu sumber pendapatan.  Mencari kayu bakar untuk menanak nasi saja susah” ujarnya.

Kepedulian masyarakat Desa Jegong dalam menjaga hutannya, dibuktikan pada waktu maraknya penjarahan hutan.  Pada waktu itu, menurut Kasran, banyak orang luar yang datang dan mempengaruhi warga untuk melakukan penjarahan.  “Tentu saja masyarakat di sini menolak dengan cara mencegahnya, mengajaknya bicara baik-baik dan sopan.  Kami sampaikan bahwa apabila hutan rusak, maka yang rugi adalah masyarakat Jegong dan nasib anak cucu kami kelak” tuturnya seraya menyebutkan, biasanya mereka sadar dan membatalkan niatnya.  Namun, lanjutnya, jika tetap memaksa, maka warga desa telah bersumpah untuk menghancurkan jembatan penghubung desa agar tidak dapat dilalui truk pengangkut kayu hasil jarahan.  Warga pun memblokir jalan dan beramai-ramai memukul kentongan tanda bahaya.

Tanggung jawab sosial dalam menjaga kelestarian hutan karena didorong oleh kesadaran bahwa hutan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, benar-benar telah terbukti dan dibuktikan oleh masyarakat Desa Jegong.  Tanggung jawab yang muncul karena nilai-nilai kearifan masyarakat desa hutan dalam memandang hutan sebagai sumberdaya milik bersama. Baca entri selengkapnya »

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Pagar Kesejahteraan di Batas Hutan (3)

22 Agustus 2008 at 3:45 pm (Catatan Kembara Tani) (, , , , , , , , , , , , , , , , , , )


“dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakan padanya gunung-gunung yang kokoh dan kami tumbuhkan  padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata.  Untuk menjadi pengajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat) Allah”.

(QS. Qaaf : 7-8).

1.3. Nilai-nilai Kearifan Ekologis

Nilai-nilai kearifan ekologis seperti yang dimiliki orang-orang seperti Mbah Rus dan masyarakat Desa Watupecah dalam memandang hutan, seringkali justru adalah jawaban atas akar masalah yang sesungguhnya.  Nilai-nilai yang selama ini hilang terkubur keserakahan dalam mengelola sumberdaya hutan tanpa kearifan.  Memandang bahwa hutan adalah milik institusi negara dan turunannya yang tengah berkuasa saat ini.  Dan, bukannya memandang hutan sebagai sumber hidup dan kehidupan bagi umat manusia saat ini dan masa yang akan datang.

Cara pandang yang keliru tersebut telah menimbulkan dampak ikutan (multiple effect) yang mengancam kehidupan manusia.  Pada tingkat lokal dan regional, dampak tersebut telah memakan korban harta dan nyawa.  Bencana alam yang terjadi di Banjarnegara, Jember dan beberapa daerah lainnya di Jawa Barat, hanyalah sedikit dari sekian banyak kerugian harta dan nyawa yang harus ditanggung oleh masyarakat di sekitar hutan.

Masyarakat desa hutan di kaki Gunung Lasem telah membuktikan bahwa setiap kali terjadi interaksi (eksploitasi) yang berlebihan pada hutan di sekitarnya, maka setiap kali itu pula harus menuai bencana.  Dalam rentang tahun 1945-1988, beberapa kali terjadi bencana tanah longsor di Desa Rakitan Kecamatan Sluke, Rembang.

Pada 1960, kondisi hutan yang berbatasan dengan desa mulai banyak yang gundul dan gersang karena pencurian dan pembukaan lahan untuk pertanian.  Akibatnya, pada 1969 terjadi kembali tanah longsor di kawasan Gunung Lasem,  kekurangan air mulai terasa, kekeringan melanda desa-desa di kaki bukit.

Kondisi kekeringan terus berlanjut, pada 1990-an sumber-sumber air yang ada mulai berkurang.  Tanaman cengkeh yang menjadi primadona pada 1994, tak dapat dipanen karena kering kerontang.  Penderitaan warga desa di batas hutan itu semakin berat akibat kemarau panjang yang terjadi pada 1997.  Puncaknya, terjadi kegagalan panen padi pada 2003 yang harus diterima dengan lapang dada dan sebagai pelajaran berharga.

Kini, kesadaran bahwa menjaga hutan Gunung Lasem adalah sama dengan menjaga kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat desa, tampak mengakar dan menjadi kearifan yang dimiliki hampir seluruh warga.  Masyarakat desa di sekitar hutan Gunung Lasem, tidak ingin perjalanan dan pengalaman buruknya dialami oleh generasi berikutnya.  Mereka ingin mewariskan mata air, bukan air mata. Baca entri selengkapnya »

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Pagar Kesejahteraan di Batas Hutan (2)

22 Agustus 2008 at 3:43 pm (Catatan Kembara Tani) (, , , , , , , , , , , , , , , , , , )


Apakah engkau tidak memperhatikan, bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi, kemudian dengan air itu ditumbuhkan-Nya tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, kemudian menjadi kering, lalu engkau melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai.  Sungguh pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal sehat “.

(QS. Az-Zumar : 21)

1.2       MATA AIR, BUKAN AIR MATA

Kearifan masyarakat desa hutan dalam memandang hutan, kembali kutemukan di lereng Pegunungan Lasem.  Hutan lindung dengan vegetasi campuran itu, relatif utuh dan rimbun dibandingkan kawasan hutan lainnya.  Kawasan hutan G. Nangka, G. Ketumpal, G. Pucang, G. Argopuro, G. Payon, G. Jaran dan G. Lumbung, termasuk dalam wilayah BKPH Gunung Lasem KPH Kebonharjo.  Setidaknya, tercatat ada 6 mata air yang mengalir jernih dari kawasan hutan Rembang itu, yakni mata air Sumber Makam, mata air Duren Padu, mata air Sumur Gandu, mata iar Sumur Talang, mata air Jombok dan mata air Belik Puyung.

Ngadirin, KSS PHBM KPH Kebonharjo menyebutkan, kawasan ini masih dapat dipertahankan karena dampak positif dari berkembangnya nilai atau norma dalam kehidupan masyarakat dan kondisi biofisik hutan.  “Nilai budaya dan kepercayaan yang berkembang bahwa kawasan tersebut ‘angker’, ternyata berdampak positif.  Disamping itu, aksesibilitas ke kawasan yang sulit juga turut berpengaruh” jelasnya.  Menurut Ngadirin, pada kawasan hutan yang bervegetasi campuran, masyarakat di sekitar hutan hampir tidak ada yang melakukan kegiatan usaha tani, pemungutan hasil hutan atau kegiatan lainnya.

Kondisi tersebut, lanjut Ngadirin, berbeda dengan kawasan hutan tanaman dan kawasan hutan transisi (reforestasi).  Pada kedua kawasan ini, interaksi masyarakat desa dengan hutan lebih tinggi.  Interaksi masyarakat desa dengan kawasan hutan tanaman terbatas pada rute jelajah (foot-path).  Masyarakat mengambil kayu bakar dan rumput untuk ternaknya.  Sedangkan pada kawasan reforestasi, interaksinya cukup tinggi.

Hasil kajian pemetaan sosial sumberdaya alam dan lingkungan di Desa Rakitan Kecamatan Sluke, Rembang, menyebutkan bahwa masyarakat desa hutan melakukan aktivitas pembukaan lahan untuk tanaman pertanian seperti padi dan palawija, untuk memenuhi kebutuhan pangannya.  Sedangkan tanaman yang tahan naungan seperti empon-empon dan beberapa komoditas hortikultura buah-buahan, ditanam untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang.  Kegiatan tersebut memang secara ‘formal’ diijinkan oleh Perum Perhutani sebagai pihak yang bertanggungjawab mengelola kawasan Gunung Lasem.  Menurut kajian yang dilakukan pada 2004 itu, masyarakat Desa Rakitan yang menjadi pesanggem lebih kurang 60 % dari jumlah penduduknya.

Di tengah perbincangan tentang hutan Gunung Lasem, dua orang laki-laki setengah baya memasuki ruang sekretariat PHBM KPH Kebonharjo.  Ngadirin berdiri dan menyambut mereka. “Ini Pak Kaslan, Ketua LMDH Sandi Mulyo, Desa Watupecah.  Dan, ini Pak Nartun, Sekretaris LMDH” ujarnya memperkenalkan kedua orang itu.

“Oh ya, terima kasih.  Saya Kembara Tani” balasku seraya menyodorkan tangan mengajak bersalaman.  Sejurus kemudian, kami pun kembali larut dalam perbincangan seputar sikap masyarakat desa hutan terhadap hutan yang ada disekelilingnya.

Kaslan tampak sangat antusias menjelaskan kondisi masyarakat Desa Watupecah, Kec. Kranggan, Rembang.  Menurutnya, kehidupan warga Desa Watupecah sangat tergantung dengan hutan.  “Sudah sejak dulu kami menyadari bahwa menjaga kawasan hutan Gunung Lasem sama artinya dengan menjaga kelangsungan hidup dan kehidupan kami sendiri” tuturnya.  Bahkan, lanjut Kaslan, pemahaman tentang pentingnya menjaga hutan, kami tanamkan kepada calon-calon generasi penerus kami melalui sosialisasi konstitusi yang melibatkan anak-anak.

Menurutnya, pemahaman tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan untuk generasi berikutnya, berkembang di masyarakat sebagai warisan Mbah Sandi, leluhur Desa Watupecah.  Pemahaman itu terus bergulir dari generasi ke generasi, hingga sampai ke generasinya.  Dan, meniru leluhurnya, pemahaman itu pun sekarang mereka gulirkan pada generasi berikutnya.  “Kami tidak ingin mewariskan air mata kepada anak cucu kami.  Tapi, kami ingin mewariskan mata air’ tandasnya perlahan.

Hening menyergap kami dan semua yang ada di ruang sempit sekretariat PHBM itu..  Kutatap lekat wajah dua orang paruh baya yang berpenampilan sederhana ini.  Sekilas, beban berat mengambang di raut wajahnya, tatkala mengucapkan kalimat “tidak ingin mewariskan air mata, tapi mata air“.  Sebuah kearifan lokal yang sarat dengan nilai-nilai universal dan tanggungjawab sosial untuk menyelamatkan hidup dan kehidupan generasi yang akan datang dari terkaman bencana.  Nilai-nilai kearifan yang saat ini begitu sulit untuk ditemukan dan perlu perjuangan tiada henti dalam mengimplementasikannya.  Nilai-nilai kearifan yang terkadang membuat mereka harus berhadapan dengan para penentu kebijakan.

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Pagar Kesejahteraan di Batas Hutan (1)

22 Agustus 2008 at 3:41 pm (Catatan Kembara Tani) (, , , , , , , , , , , , , , , , , , )


“dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan       (sumber) penghidupan untukmu. (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur’.

(QS. Al-Araf : 10).

1.1       SUMBER HIDUP DAN KEHIDUPAN

Pondok mungil berdinding kulit kayu jati, beratap genting dan jerami kering, menarik perhatianku.  Pondok itu berdiri di tengah hamparan lahan Perhutani, tepat di  pinggir jalan Randublatung – Blora.  Di lahan yang terbuka itu, tampak tanaman jati muda berdaun 5 – 10 helai dan tanaman cabai di sela-sela larikannya. Hamparan tanaman kacang tanah berdaun hijau terang dan tegakan batang Jagung kering sisa panen, tampak pula di sisi kiri kanannya.  Sementara itu, cacahan kayu bakar teronggok di depannya.  Beberapa batang kayu jati berdiameter 10 cm tampak berserak di samping pondok.

Seorang laki-laki tua bertelanjang dada dengan celana komprang hitam, keluar dari pintu. Laki-laki berperawakan kurus dan berkulit hitam legam itu, menjawab salamku.  Deretan gigi putih yang tampaknya masih lengkap, tampak jelas dalam senyuman lebarnya tatkala menjabat erat tanganku.  Janggut putih didagunya memperjelas garis-garis tua di raut wajahnya.  Sorot matanya tajam, namun ada keteduhan membayang didalamnya.

Mbah Rus, demikian laki-laki itu biasa disapa, tinggal di pondok mungil di tepi hutan jati Randublatung bersama istrinya.  Jarang sekali dia pulang kedesanya yang masih terletak di sekitar hutan itu.  Terkadang, anak dan ketiga cucunya menyambanginya di pondok itu.

“Keseharian saya ya di sini.  Tinggal di sini.  Malam juga tidur di sini” ujarnya seraya menunjuk dipan yang menempel pada dinding pondok.

Gak takut Mbah?” godaku disusul tawa renyahnya.

Wong kalau malam di sini rame ko.  Pak Mandor dan Pak Mantri, kalau habis patroli ya ngumpul di sini.  Pak Asper juga sering begadang di sini, bakar ubi sambil ngopi” ujarnya seraya menyebutkan bahwa masyarakat di sekitar hutan sering menjadikan pondoknya itu sebagai pos kumpul-kumpul untuk sekedar ngobrol ngalor ngidul.

Ada perubahan serius dalam mimik wajahnya, ketika aku tanya mengapa ia mau tinggal di hutan. Mbah Rus tampak diam sejenak, matanya menerawang menatap hamparan tegakan pohon jati yang siap tebang, lantas menarik nafas panjang dan dalam yang dihembuskannya perlahan-lahan.

“Sudah lebih dari 27 tahun saya tinggal di hutan” ujarnya lirih.  Selama itu, lanjut laki-laki yang lahir di Pati 77 tahun lalu itu, hidup dan penghidupan saya ya di hutan.  Seorang perempuan setengah baya mempersilahkan kami untuk mencicipi hidangan yang disuguhkannya.

“Bagi saya, hutan adalah sumber hidup dan kehidupan” tandasnya perlahan.  Sejenak aku tercenung mendengarnya, menatapnya dalam-dalam untuk mencoba mencari makna dibalik ucapannya tadi.  Pasalnya, aku yakin ada sesuatu yang tidak sesederhana ucapannya itu.

“Maksud Mbah, hutan merupakan sumber pendapatan Mbah untuk memenuhi kebutuhan hidup Mbah dan keluarga?” tanyaku memastikan.

“Bukan, bukan itu maksud saya” tukasnya cepat.

Hutan itu, lanjut Mbah Rus, sumber hidup dan kehidupan manusia dalam arti yang sesungguhnya.  Tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan dari hasil panen padi, jagung, kacang tanah, atau kayu bakar, empon-empon dan daun untuk di jual.  Tapi, sumber hidup dan kehidupan manusia !

“Tanpa hutan, manusia mungkin saja masih bisa hidup, tapi tidak akan memiliki kehidupan seperti sebelumnya” tandasnya penuh keyakinan.  Aku masih tercenung, mencoba mencerna untaian kalimat yang dituturkannya, ketika laki-laki yang “dituakan” oleh masyarakat di sepanjang desa hutan itu melanjutkan tuturannya. Baca entri selengkapnya »

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

3. Pantang Menyerah

22 Agustus 2008 at 2:11 am (Ada Petani di Malioboro, Catatan Kembara Tani) (, , , , , , , , , , , , , , , , , , , )


Bagian Pertama, Merajut Benang Harapan

3. Pantang Menyerah

Keterbatasan Sumberdaya Alam dan Lahan ini banyak dikeluhkan para petani dan tokoh masyarakat yang kutemui, khususnya yang berada di Gunung Kidul.  Diantaranya adalah Prawiro (86 tahun), tokoh masyarakat yang dituakan oleh para petani di Desa Dadapayu Semanu.  Menurut mantan Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) di era tahun 1960-an itu, hal yang paling menyulitkan adalah semakin sempitnya lahan usaha tani.  Sistem waris yang cenderung membagi-bagi tanah untuk anak-anak petani menjadi penyebabnya.  Setiap generasi pasti akan semakin kecil dan akhirnya dijual karena tidak layak usaha lagi.  “Sebenarnya, meskipun kondisi lahan yang kering seperti ini, apabila diiringi dengan luasan yang cukup dapat memenuhi kebutuhan petani.  Tapi kenyataannya tidak begitu” tandasnya.  Lahan pertanian, lanjut Prawiro, malah semakin menyempit, sehingga tidak layak dijadikan tumpuan harapan generasi muda pertanian.  “Akibatnya ya pada pergi ke kota, wong orang nambah terus tapi tanah tidak melebar ko” tuturnya.

Seperti mengamini salah satu warganya itu, Sutamta, Lurah Desa Dadapayu, mengaku kesulitan untuk mengembangkan pertanian di desanya.  Kondisi alam dan lahan kering tadah hujan menjadi faktor pembatas yang sulit untuk diatasi.  Padahal, lahan pertanian didesanya itu relatif lebih subur.  “Bila ada irigasi, komoditas hortikultura bisa berkembang dengan baik, karena lahan di sini subur.  Tapi, membuat irigasi sepertinya tidak mungkin karena biayanya cukup besar.  Swadaya masyarakat tidak memungkinkan untuk itu” paparnya.  Makanya, lanjut Sutamta, pada saat musim kemarau banyak warganya yang menganggur dan pergi ke kota untuk mencari tambahan penghasilan.  Bekerja sebagai buruh bangunan, adalah pilihan terbanyak yang dijalani warganya.

“Sebenarnya, di sini ada sumber air tapi letaknya berada di bawah areal pertanian.  Kami sedang berupaya menjadikan sumber air itu untuk pertanian, sehingga dapat membantu warga” tutur Sutamta tanpa mau menyerah.

Untuk mengurangi beban warganya, Sutamta berencana untuk mengembangkan industri yang dapat menyerap tenaga kerja.  Salah satunya membuat pabrik gaplek dan pabrik air minum kemasan yang memanfaatkan sumber air yang disebutkannya tadi.  Beberapa calon investor akan “dirayu”nya agar mau menanamkan modal di desanya.  Sutamta pun tengah berupaya agar jalur transportasi wisata ke arah Pantai Sadeng dan Pantai Wediombo dapat melalui desanya.  “Mudah-mudahan hal tersebut dapat mengangkat ekonomi warga desa” ujarnya penuh harap. Baca entri selengkapnya »

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Next page »