Pagar Kesejahteraan di Batas Hutan (5)

22 Agustus 2008 at 3:49 pm (Catatan Kembara Tani) (, , , , , , , , , , , , , , , , , , )


“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

(QS. Ar-Rum  : 41)

1.5. INTERVENSI KEKUASAAN DAN HILANGNYA NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL.

Mubyarto, dalam Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan (1983), menyebutkan bahwa sebelum dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing 1967, produksi kehutanan sangat kecil.  Ekspornya pada 1964 kurang dari 100.000 m3 dengan nilai rata-rata US $ 3-4 juta.  Dibanding dengan hasil hutan ikutan, seperti Getah, Damar, Tengkawang, Kulit binatang dan lain-lain yang mencapai antara US $ 6-9 juta, maka ekspor hasil hutan tidak berarti dari segi penerimaan devisa negara.

Keadaan berubah sangat cepat setelah modal asing diundang masuk dan bersamaan dengan dikeluarkannya UU No. 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan.  Inhutani yang sebelumnya memegang monopoli pengusahaan hutan, sesudah 1967 menjadi hanya salah satu pemegang HPH yang kurang berarti.  Pengusaha-pengusaha asing dari Jepang, Filipina dan Malaysia, berdatangan terutama dengan makin menciutnya kemungkinan mengusahakan hutan di kedua negara ASEAN itu.  Produksi tahunan antara tahun 1970 – 1978 adalah pada tingat lebih dari 20 juta m3 dimana lebih dari 75 % nya diekspor.

Dalam nilai devisa, sumbangan ekspor hasil hutan ini sungguh meningkat luar biasa.  Dari jumlah yang tidak berarti menjadi nomor 2 setelah minyak bumi, yaitu hampir sebesar US $ 1 Milyar pada tahun 1977.  Pada saat itu, sudah mulai terdengar suara-suara bahwa kalau pun minyak bumi kita habis, hutang-hutang luar negeri akan lunas dibayar dengan hasil-hasil hutan yang merupakan sumber alam yang dapat diperbaharui (renewable).  Padahal, luasnya mencapai 120 juta hektar dan baru kurang dari 25 % yang diusahakan.

Demikianlah telah terjadi revolusi dalam sejarah kehutanan Indonesia.  Bagi Indonesia yang pada tahun 1966 – 1967 sangat memerlukan devisa untuk mengimpor pangan, sandang dan kemudian bahan-bahan lain dalam rangka pembangunan, sumbangan yang diberikan oleh sumber daya hutan sungguh luar biasa.

Namun seperti yang juga ditemukan pada hampir segala bidang, setiap hasil pasti ada biayanya, lebih-lebih apabila hasil itu diperoleh dalam waktu yang singkat.  Revolusi kehutanan seperti juga revolusi hijau dalam bidang pangan, tidak sedikit meminta korban yang dari segi politik pertanian (baca: kehutanan) besar implikasinya.  Hilangnya nilai-nilai kearifan sosial, ekonomi dan ekologis yang dimiliki MDH adalah salah satu dari implikasi ‘revolusi’ kehutanan tersebut.

Eksploitasi sumberdaya hutan besar-besaran yang dilakukan atau setidaknya diijinkan oleh institusi negara, untuk mengejar target devisa pada kurun waktu tersebut, memiliki dampak sosial berupa pergeseran nilai-nilai kearifan MDH dalam memandang hutan.  Maraknya kasus penjarahan pada kisaran 25 tahun setelah intervensi kekuasaan terhadap MDH, eksploitasi sumberdaya hutan besar-besaran kembali terjadi.  Bedanya, kali ini dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang meniru ‘kelakuan’ institusi-institusi pemerintahnya.  Sebagian dari kelompok masyarakat itu adalah bagian dari MDH yang sebelumnya sangat menjaga kelestarian hutan dengan nilai-nilai kearifannya.

Mencontoh dari perilaku yang ada, pada saat itu mereka memandang hutan sebagai sumber yang mudah, murah dan cepat untuk dapat dikonversi menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.  Nilai ekonomi hutan menjadi lebih menonjol dibanding nilai-nilai sosial dan ekologisnya. Mereka tidak lagi memandang hutan sebagai milik bersama, digunakan dan dimanfaatkan bersama dan oleh karenanya harus dipelihara dan dijaga bersama pula untuk menjamin kelangsungan manfaatnya.

MDH tidak memiliki posisi tawar yang kuat untuk mempertahankan nilai-nilai kearifannya dalam memandang hutan, manakala intervensi kekuatan eksternal menekan kelestarian sumberdaya hutan. Khususnya, intervensi politik kekuasaan dan kebijakan yang tidak sadar lingkungan dan tidak memiliki pemahaman bahwa Hutan adalah Sumber hidup dan kehidupan umat manusia.

2 Komentar

  1. M. Abdul Fatah, S. Pd. said,

    Salam Sejahtera Dengan ini saya berbangga hati karena respon pemerintahan kita dan berbagai pihak sudah mulai lebih positif lagi terhadap penangan pangan,dan kalau memang diperkenankan baiklah saya sarankan pihak pemerintah juga banyak mengakses informasi dari berbagai pihak bagaiman meningkatkan produksi pangan kita bisa meningkat baik secar kualitas maupun kuantitas, tidkak kalah lagi dampak terhadap kelestarian alam (K-3), saya merasa tergugah untuk turut menyumbangkan pemikiran dan bagi informasi terhadao permasalahan ini karena itu silahkan kunjungi blog saya (www.go-organik-2010.blogspot.com) di sana saya telah memaparkan beberapa teknis budidaya berbagai macam komoditi yang akan meningkatkan k-3. sudah banyak kesaksian di seluruh nusantara tentang tanam padi yang dapat menghasilkan produksi 15-20 ton / Ha gabah kering. Mohon maaf, dan saya ucapkan terima kasih.

  2. kembaratani said,

    Terima kasih banyak atas masukannya Pak. Memang, NKRI hanya bisa kembali meraih kejayaan Sriwijaya dan Majaphit bila sinergi semua kekuatan potensi bangsa terbentuk, saling mengisi dan tentunya mau untuk saling belajar dari sesama anak bangsa. Sekali lagi terima kasih mau mampir di Blog Kembara Tani.

Tinggalkan komentar