3. Menanti si Kelik Kembali

22 Agustus 2008 at 2:39 am (Ada Petani di Malioboro, Catatan Kembara Tani) (, , , , , , , )


Bagian Kedua, Memahat Asa di Jantung Kota

3. Menanti si Kelik Kembali

Meskipun lebih dari separuh luas wilayah DIY digunakan untuk lahan pertanian, tapi kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hanya menduduki peringkat ketiga setelah sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa.  Kontribusi sektor pertanian pada tahun 2003 tercatat sebesar 3,12 Trilyun dari total nilai PDRB DIY sebesar 18,84 Trilyun atau sebesar 16,54 % nya.  Sementara sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa, masing-masing memberikan kontribusi yang lebih besar yakni, 19,31 % dan 17,47 % dari total PDRB DIY.

Bahkan, sektor perdagangan, hotel dan restoran yang pada tahun 1993 berada di bawah peringkat sektor pertanian, dalam waktu sepuluh tahun telah berhasil melejit meninggalkan sektor pertanian dan menduduki urutan pertama Struktur Ekonomi DIY.

Kondisi seperti itu tidak lepas dari upaya Pemprop. DIY yang mencoba mengukuhkan dan memperkuat image DIY sebagai Kota Pendidikan, Kota Budaya dan Kota Wisata.  Bahkan, brand image baru yang dicoba disandangnya, melesat melampaui batas negara, Jogja Never Ending Asia.  Upaya Jogja dalam menggambarkan dirinya sebagai Asia yang tak pernah berakhir, sangat mempengaruhi orientasi ekonomi yang cenderung berkembang ke sektor sekunder dan tersier.  Perkembangan industri yang makin meningkat, serta perkembangan sektor jasa-jasa serta pendidikan dan pariwisata, mendorong lebih tingginya pertumbuhan sektor-sektor ekonomi selain sektor pertanian.

Arah perkembangan ekonomi seperti itu, memiliki dampak yang cukup besar terhadap kemampuan penyerapan tenaga kerjanya.  Kemampuan sektor pertanian menyerap tenaga kerja, telah menurun sebesar 8,23 % dalam kurun waktu sepuluh tahun.  Dari 45,80 % pada tahun 1993 menjadi 37,57 % pada tahun 2003.  Sementara sektor lainnya, di luar sektor pertanian, justru menunjukan peningkatan kemampuan (kecuali sektor bangunan yang juga turun sebesar 0,24 %).  Bahkan, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, melambung lebih dari 4 kali lipatnya.  Dari semula 0,46 % di tahun 1993 menjadi 2,15 % pada tahun 2003.

Walau pun demikian, sektor pertanian masih tetap menjadi sektor utama dalam menyerap tenaga kerja saat ini.  Tapi yang memprihatinkan, faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah relatif rendahnya keterampilan yang dibutuhkan sektor pertanian dibanding sektor lainnya.  Kecenderungan ini menyebabkan pekerja di sektor pertanian didominasi oleh pekerja tidak terampil dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah.

Namun di balik keprihatinan itu, secercah harapan masih terbentang luas.  Potensi lahan yang masih memungkinkan dikembangkannya sektor pertanian, menyediakan peluang penyerapan yang cukup besar.  Gunung Kidul dan Kulonprogo, memiliki wilayah pedesaan yang relatif luas serta kawasan perkotaan dengan konsentrasi pertanian.  Hanya saja, kedua kawasan itu cenderung makin lengang seiring beralihnya tenaga kerja ke sektor lainya di jantung-jantung kota. Baca entri selengkapnya »

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar