Pagar Kesejahteraan di Batas Hutan (4)

22 Agustus 2008 at 3:47 pm (Catatan Kembara Tani) (, , , , , , , , , , , , , , , , , , )


Dia lah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian rejeki-Nya.  Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS. Al-Mulk : 15).

1.4  NILAI-NILAI KEARIFAN SOSIAL- EKONOMI

Interaksi antara Masyarakat Desa Hutan (MDH) dengan hutan yang ada disekelilingnya, telah berjalan cukup lama.  Bahkan, interaksi tersebut telah terjadi jauh sebelum bangsa dan negara ini lahir.  MDH telah menjadikan hutan sebagai bagian dari kehidupan sosial ekonominya.  Dalam interaksinya tersebut, MDH memiliki nilai-nilai kearifan sosial ekonomi dalam memandang hutan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Nilai-nilai kearifan sosial MDH dalam memandang hutan didasari atas tanggung jawab sosial untuk memelihara sumberdaya hutan yang digunakan atau dimanfaatkan bersama.  Sementara nilai-nilai kearifan ekonomi MDH dalam memandang hutan didasari atas tanggung jawab bersama untuk menjaga manfaat ekonomi sumberdaya hutan bagi kelangsungan pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Moh. Kasran, Ketua LMDH Wana Lestari, Desa Jegong Kec. Jati Kab. Blora yang termasuk dalam kawasan KPH Randublatung, mengungkapkan bahwa jauh sebelum implementasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di desanya, masyarakat Desa Jegong sudah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kondisi kelestarian hutan.  Menurutnya, masyarakat Desa Jegong memperoleh manfaat ekonomi secara langsung melalui pengambilan kayu bakar, empon-empon, walur, gemili dan daun jati.

Khususnya pada musim paceklik, menurut Kasran, hutan merupakan sumber pendapatan satu-satunya yang sangat membantu sebagian besar masyarakat Desa Jegong dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya.  Oleh karena itu, lanjut tokoh agama yang berpembawaan tenang ini, masyarakat Desa Jegong sangat menjaga kelestarian hutannya.  “Karena, kalau hutannya rusak, pohonnya banyak berkurang, kami kehilangan salah satu sumber pendapatan.  Mencari kayu bakar untuk menanak nasi saja susah” ujarnya.

Kepedulian masyarakat Desa Jegong dalam menjaga hutannya, dibuktikan pada waktu maraknya penjarahan hutan.  Pada waktu itu, menurut Kasran, banyak orang luar yang datang dan mempengaruhi warga untuk melakukan penjarahan.  “Tentu saja masyarakat di sini menolak dengan cara mencegahnya, mengajaknya bicara baik-baik dan sopan.  Kami sampaikan bahwa apabila hutan rusak, maka yang rugi adalah masyarakat Jegong dan nasib anak cucu kami kelak” tuturnya seraya menyebutkan, biasanya mereka sadar dan membatalkan niatnya.  Namun, lanjutnya, jika tetap memaksa, maka warga desa telah bersumpah untuk menghancurkan jembatan penghubung desa agar tidak dapat dilalui truk pengangkut kayu hasil jarahan.  Warga pun memblokir jalan dan beramai-ramai memukul kentongan tanda bahaya.

Tanggung jawab sosial dalam menjaga kelestarian hutan karena didorong oleh kesadaran bahwa hutan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, benar-benar telah terbukti dan dibuktikan oleh masyarakat Desa Jegong.  Tanggung jawab yang muncul karena nilai-nilai kearifan masyarakat desa hutan dalam memandang hutan sebagai sumberdaya milik bersama.

Hal senada disampaikan pula oleh Suyitno, pelopor sekaligus pendiri LMDH Wana Bersemi, Desa Gempol Kec. Jati Kab. Blora, masih termasuk dalam wilayah KPH Randublatung.  terkait dengan upaya menjaga kelestarian hutan, sejak 1960-an masyarakat Desa Gempol sudah memiliki koordinasi yang baik.  Jika ada pencurian, ujar lelaki yang masih tampak segar dalam usianya yang ke 70 tahun ini, masyarakat menginformasikannya kepada petugas.

Menurutnya, kesadaran itu muncul karena hampir seluruh masyarakat secara ekonomi tergantung pada keberadaan hutan.  “Kami mengambil kayu bakar, baik untuk digunakan sendiri atau dijual, porang dan empon-empon yang banyak tumbuh liar di hutan juga dimanfaatkan.  Disamping itu, untuk pakan ternaknya, kambing dan sapi, mereka pun mengambil rumput dari hutan” paparnya.

Kegiatan usaha lainnya yang dilakukan masyarakat Desa Gempol terkait dengan hutan adalah pembuatan arang kayu dan kerajinan dari tunggak kayu.  Tidak hanya itu, apabila ada kebutuhan sarana umum, masyarakat berkoordinasi dengan desa untuk dapat memanfaatkan kayunya.  “Masyarakat Gempol sudah sejak lama memiliki kesadaran bahwa jika hutan rusak, kami yang akan merasakan dampaknya.  Khususnya dampak ekonomi” tandasnya. Oleh karena itu, lanjut Suyitno, pada saat maraknya penjarahan, masyarakat Desa Gempol tidak ada yang ikut, malah mereka aktif memberikan informasi kepada petugas.

Ketergantungan MDH terhadap hutan, dijelaskan pula oleh Sinardi, Ketua LMDH Wana Tani Makmur, Desa Nglebur Kec. Jiken Kab. Blora, yang berada dalam wilayah KPH Cepu.  Menurutnya, Desa Nglebur berada di dalam kawasan hutan.  Sehingga, otomatis interaksi masyarakat Nglebur dengan hutan yang melingkupinya adalah kehidupan kesehariannya. “Masyarakat Desa Nglebur yang sebagian besar petani dan buruh tani, menggantungkan tambahan pendapatannya dari hasil hutan.  Masalahnya, luas lahan pertanian  di desa dengan di kawasan hutan sama.  Sehingga banyak petani yang menggarap di kawasan hutan” jelas Sinardi.

Warga Desa Nglebur termasuk warga yang lapar lahan.  Bahkan, sebelum PHBM diimplementasikan, banyak yang merantau ke daerah lain hanya untuk memanfaatkan dan menggarap lahan-lahan hutannya. Dengan menggarap lahan di kawasan hutan, lanjut anggota TNI AD yang masih aktif ini, petani mendapat keuntungan ganda.  Petani tidak perlu membayar pajak, sewa lahan dan hasil panennya 100 % untuk petani sendiri.  Petani hanya dititipi tanaman pokok Jati, untuk dipelihara dan dijaga sampai akhir daur.

Sebelum adanya PHBM pun, menurut Sinardi, masyarakat Desa Nglebur khususnya petani hutan sudah memiliki kesadaran dalam menjaga hutan.  Lima ribu jiwa masyarakat Desa Nglebur yang terbagi dalam 4 pedukuhan, tersebar di dalam kawasan hutan.  Bagi mereka, lanjutnya, hutan adalah pusat kegiatan ekonominya.  Secara sosial, mereka tahu persis apa yang harus dilakukan untuk menjaga kelangsungan kegiatan ekonominya.  Sebab, jika hutan rusak, berarti kegiatan ekonomi mereka pun turut terancam.  Nilai-nilai kearifan sosial ekonomi yang dimiliki masyarakat Desa Nglebur tampak dalam mottonya, Hutan Lestari Rakyat Sejahtera.

Pada prakteknya, cara pandang MDH terhadap hutan dan pemanfaatannya selalu dibatasi oleh nilai-nilai kearifan ekologis, sosial dan ekonomi.  Barangkali, itulah sebabnya mengapa interaksi MDH dengan hutan dapat terus berlangsung dengan selalu tetap mempertahankan kelestariannya dan keseimbangan fungsi-fungsinya.  Setidaknya, hal tersebut terus berlangsung sampai terjadinya “Revolusi” kehutanan yang dimulai sejak 1967.

Tinggalkan komentar