Perubahan Iklim dan Nasib Petani (1)

9 Mei 2011 at 9:37 am (Catatan Kembara Tani, Perubahan Iklim) (, , , , )


Pemanasan Global telah nyata-nyata mempengaruhi ekosistem dunia.  Naiknya suhu Bumi itu telah mengakibatkan mencairnya es di kutub, mendorong naiknya permukaan air laut dan menstimulir terjadinya perubahan iklim global.  Hal tersebut mempengaruhi kehidupan populasi dunia dan cenderung menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapainya.

Oleh sebab itu pula, saat ini perubahan iklim telah menjadi isu kritis paling utama yang mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan di seluruh dunia. Pada saat ekonomi dunia sedang dalam tahap pemulihan dan negara-negara berkembang sedang berupaya keras memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dampak perubahan iklim telah ikut serta dalam memperburuk kondisi kehidupan masyarakat dunia.  Termasuk, masyarakat tani di Indonesia.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah katulistiwa termasuk wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara, serta peningkatan kejadian iklim ekstrim berupa banjir dan kekeringan merupakan beberapa dampak serius perubahan iklim yang dihadapi Indonesia.

Pertanian, Sektor yang Rentan

Bappenas dalam dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) untuk Sektor Pertanian (Maret 2010) menyebutkan, walaupun berkontribusi relatif kecil (sekitar 7%) terhadap emisi GRK nasional, namun sektor pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, mengalami dampak (victim) perubahan iklim yang cukup besar.

Kerentanan sektor pertanian terhadap perubahan iklim dapat didefinisikan sebagai tingkat kekurang-berdayaan suatu sistem usaha tani dalam mempertahankan dan menyelamatkan tingkat produktivitasnya secara optimal dalam menghadapi cekaman perubahan iklim. Pada dasarnya kerentanan bersifat dinamis sejalan dengan kehandalan teknologi, kondisi sosial-ekonomi, sumberdaya alam dan lingkungan. Kerentanan dipengaruhi oleh tingkat keterpaparan (exposure) terhadap bahaya dan kapasitas adaptif serta dinamika iklim itu sendiri. Dampak adalah tingkat kondisi kerugian, baik secara fisik, produk, maupun secara sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh cekaman perubahan iklim. (Bappenas, 2010)

Selanjutnya disebutkan bahwa sektor Pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan iklim terkait tiga faktor utama, yaitu biofisik, genetik, dan manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman, teutama cekaman (kelebihan dan kekurangan) air. Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman (Las., et al, 2008b). Tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global, yang berdampak terhadap sektor pertanian adalah: (1) perubahan pola hujan dan iklim ekstrim (banjir dan kekeringan), (2) peningkatan suhu udara, dan (3) peningkatan muka laut.

Menurut Litbang Kementan, Perubahan iklim akan menyebabkan: (a) seluruh wilayah Indonesia mengalami kenaikan suhu udara, dengan laju yang lebih rendah dibanding wilayah subtropis; (b) wilayah selatan Indonesia mengalami penurunan curah hujan, sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan.

Perubahan pola hujan tersebut menyebabkan berubahnya awal dan panjang musim hujan. Di wilayah Indonesia bagian selatan, musim hujan yang makin pendek akan menyulitkan upaya meningkatkan indeks pertanaman (IP) apabila tidak tersedia varietas yang berumur lebih pendek dan tanpa rehabilitasi jaringan irigasi. Meningkatnya hujan pada musim hujan menyebabkan tingginya frekuensi kejadian banjir, sedangkan menurunnya hujan pada musim kemarau akan meningkatkan risiko kekekeringan.

Sebaliknya, di wilayah Indonesia bagian utara, meningkatnya hujan pada musim hujan akan meningkatkan peluang indeks penanaman, namun kondisi lahan tidak sebaik di Jawa. Tren perubahan ini tentunya sangat berkaitan dengan sektor pertanian.

El Nino dan La Nina

Perubahan iklim dengan segala penyebabnya secara faktual sudah terjadi di tingkat lokal, regional maupun global. Peningkatan emisi dan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) mengakibatkan terjadinya pemanasan global, diikuti dengan naiknya tinggi permukaan air laut akibat pemuaian dan pencairan es di wilayah kutub. Naiknya tinggi permukaan air laut akan meningkatkan energi yang tersimpan dalam atmosfer, sehingga mendorong terjadinya perubahan iklim, antara lain El Nino dan La Nina.

Fenomena El Nino dan La Nina sangat berpengaruh terhadap kondisi cuaca/iklim di wilayah Indonesia dengan geografis kepulauan. Sirkulasi antara benua Asia dan Australia serta Samudera Pasifik dan Atlantik sangat berpengaruh, sehingga wilayah Indonesia sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Hal ini diindikasikan dengan terjadinya berbagai peristiwa bencana alam yang intensitas dan frekuensinya terus meningkat.

Fenomena El Nino adalah naiknya suhu di Samudera Pasifik hingga menjadi 31°C, sehingga akan menyebabkan kekeringan yang luar biasa di Indonesia. Dampak negatifnya antara lain adalah peningkatan frekuensi dan luas kebakaran hutan, kegagalan panen, dan penurunan ketersediaan air.

Fenomena La Nina merupakan kebalikan dari El Nino, yaitu gejala menurunnya suhu permukaan Samudera Pasifik, yang menyebabkan angin serta awan hujan ke Australia dan  Asia Bagian Selatan, termasuk Indonesia. Akibatnya, curah hujan tinggi disertai dengan angin topan dan berdampak pada terjadinya bencana banjir dan longsor besar.

Perubahan Iklim dan nasib Petani (2)

* dari berbagai sumber

2 Komentar

  1. Adam Kurniawan said,

    Bagus blognya sob.
    Postingannya juga bermanfaat.
    Terus berkarya ya, berbagi itu Indah 🙂

    Ditunggu kunjungan baliknya ya sob, jangan lupa tinggalin jejak di postingan

    saya ya. 🙂

    • kembaratani said,

      Kang Adam, … Alhamdulillah, terima kasih kunjungannya, … siaaap meluncur ke TKP … hehehe …

Tinggalkan komentar